Mendapat sebuah kepercayaan mungkin mudah, tapi menjaga kepercayaan itu cukup sulit. Bahkan dalam sebuah ikatan darah. Ya itu yang sedang terjadi saat itu, ketika nenekku berkeluh kesah tentang kehilangan sejumlah uang dari dompet hitamnya kesayangannya.
Saat itu aku sedang duduk santai menikmati pertandingan sepak bola yang disiarkan di televisi. Aku ingat persis saat itu, di menit ke 90 sebuah gol pengunci kemenangan Argentina yang ditorehkan Aguero mengakhiri skor 5-0 atas . . . itu juga yang menjadi awal waktu aku di panggil oleh nenekku.
"Le, kene le, cepetan !" panggil nenek.
"Onok opo, Mbah?" ujarku sembari segera menghampirinya yang sedang berada di dalam kamar.
"Le, tulungi Mbah golekno dompet, warnani Ireng"
"Di dhekek ndi bah dompete?"
"Biasani tak dhekek kene, tak slempetno, tapi kok gak onok saiki ?"
Ia menunjuk rak tengah bagian kanan, di dalam tumpukan selimut yang ada di dalam lemarinya. Ukuran lemarinya cukup besar, tingginya sekitar 2 meter dan lebar 1 meter. Aku mencari dompetnya dari bagian atas rak yang berjumlah empat. Mencarinya di setiap tumpukan baju. Namun masih belum ku temukan. Aku hanya menemukan sebuah dompet merah usang. Namu itu bukan yang ia cari. Akhirnya ku coba dengan menurunkan beberapa baju yg berada di tumpukan paling atas di setiap rak. Dompet itupun kutemukan.
"Iki dompet te ta bah?" ujarku, sembari memberikan pada nenekku.
Sebuah dompet hitam. Dompet hitam dengan warna yang sudah memudar. Permukaan yang kasar dan beberapa resleting yang sudah aus. Memiliki empat kantung di dalamnya. Terlihat bahwa ia sudah cukup lama memilikinya.
Ia membukanya dengan hati-hati. Melihat isinya. Ku lihat didalamnya ada sebuah E-KTP, KTP th 2002, Kartu pemilihan dan beberapa lembar uang tunai. Aku baru menyadari dengan pasti bahwa nenekku telah berusia 77 tahunan. Walaupun dengan melihatnya saja, ia sudah tidak lagi muda. Kulit keriputnya menggambarkan semuanya.
"Kok cuma sak ene dhuek e?" ujarnya tiba-tiba . Ia sangat terpukul kurasa. Karena matanya mulai berkaca-kaca, dan sedikit kulihat air yang akan jatuh dari kelopak matanya. Dan aku hanya bisa terdiam.
"Sakdhorongi dek kene onok satosa, kok cuma karek seketan ?"
"Gak di dhele dek nggon liyo ta bah ?" tanya ku, mencoba menenangkannya.
"Nggak le biasani tak dhekek ke kene, duek atosani tak dhekek kene biasani"
Ia menceritakan bahwa uang yang ratusan yang dimilikinya diberikan oleh salah satu tentara kenalannya ketika ia menyapu halaman.
"Sek apik dhuek e le, sektas jupok iku koyok e pas tak Trimo" ujarnya kecewa.
Ini bukan pertama kali ia mendapat uang dari tentara, karenanya dulunya ia adalah orang yang biasa memasak dan mencuci di tempat para tentara. Ia bercerita bahwa 20 tahun ia menjalin hubungan dengan para tentara dan mereka selalu menghormatinya hingga saat ini. Namun sayangnya ini bukan pertama kalinya ia kehilangan sesuatu dari dalam kamarnya.
Ia menceritakan semua padaku. Sudah ketiga kalinya ia kehilangan sesuatu dari dalam kamarnya. Walaupun kamarnya sudah terkunci. Begitu juga dengan lemarinya. Aku dapat merasakan kesedihannya. Ia merasa, untuk kesekian kalinya ia merasa dikhianati dan dibodohi. Di rumahnya sendiri. Di tempat peninggalan suami tercintanya. Dimana hanya ada anak, menantu dan cucu-cucunya.
Dan disatu sisi aku sangat merasa kecewa pada diriku sendiri. Aku tidak bisa memberikan penyelesaian dalam masalah ini. Yang ku lakukan hanya mengatakan sabar dan coba beli gembok baru. Tapi masih tidak dapat memastikan apakah kejadian ini tidak akan berulang. Terlebih lagi secara tidak langsung aku menjadi saksi bahwa saat kamar itu ditinggal pemiliknya, sejak aku datang tidak ada satu orang pun yang memasuki kamar. Dan aku bisa menjamin itu. Kecuali ketika 3 jam saat aku tidur.
Ia mencurigai menantunya. Tapi aku tidak bisa mendukungnya. Bukan berarti aku tidak mau. Hanya saja aku tidak memiliki bukti dan aku tidak benar-benar mengetahui rincian uangnya. Aku percaya sekaligus tidak percaya dg ceritanya. Itu juga yang membuatku lebih kecewa.
Bagaimana tidak. Nenekku ini sangatlah pelupa. Aku tahu sendiri. Salah satu contoh ketika aku diminta untuk makan menemaninya. Kemudian aku makan bersamanya. Namun beberapa saat kemudian, ia datang dan bertanya "wes mangan ghorong?" Atau perintah "Kon ghorong mangan yo?ndang mangano! ". Dan itu tidak hanya sekali dua kali, mungkin hampir setiap aku datang ke rumahnya. Ia mengingatkanku pada ikan Dori salah satu tokoh dalam movie "Finding Nemo".
Tapi terkadang ingatannya sangat kuat tentang suatu hal. Seperti terakhir iataruh dompetnya, di tempat mana dan dalam posisi seperti apa. Atau tentang saat mendapatkan uang pemberian, masa lalunya saat di tempat tentara, atau kisah masa kecilku. Ia dapat mencereritakannya secara detail. Inilah yang membuatku kagum dan percaya pada ceritanya.
Akhirnya aku hanya bisa menenangkannya dan membelikan gembok baru untuk kamarnya. Yah aku harap tidak ada yang ke empat kalinya.