Jumat, 10 Juni 2016

Dompet tua nenek

BY Black Mask IN No comments

     Mendapat sebuah kepercayaan mungkin mudah, tapi menjaga kepercayaan itu cukup sulit. Bahkan dalam sebuah ikatan darah. Ya itu yang sedang terjadi saat itu, ketika nenekku berkeluh kesah tentang kehilangan sejumlah uang dari dompet hitamnya kesayangannya.

     Saat itu aku sedang duduk santai menikmati pertandingan sepak bola yang disiarkan di televisi. Aku ingat persis saat itu, di menit ke 90 sebuah gol pengunci kemenangan Argentina yang ditorehkan Aguero mengakhiri skor 5-0 atas . . . itu juga yang menjadi awal waktu aku di panggil oleh nenekku.

"Le, kene le, cepetan !" panggil nenek.
"Onok opo, Mbah?" ujarku sembari segera menghampirinya yang sedang berada di dalam kamar.
"Le, tulungi Mbah golekno dompet, warnani Ireng"
"Di dhekek ndi bah dompete?"
"Biasani tak dhekek kene, tak slempetno, tapi kok gak onok saiki ?"

     Ia menunjuk rak tengah bagian kanan, di dalam tumpukan selimut yang ada di dalam lemarinya. Ukuran lemarinya cukup besar, tingginya sekitar 2 meter dan lebar 1 meter. Aku mencari dompetnya dari bagian atas rak yang berjumlah empat. Mencarinya di setiap tumpukan baju. Namun masih belum ku temukan. Aku hanya menemukan sebuah dompet merah usang. Namu itu bukan yang ia cari. Akhirnya ku coba dengan menurunkan beberapa baju yg berada di tumpukan paling atas di setiap rak. Dompet itupun kutemukan.

"Iki dompet te ta bah?" ujarku, sembari memberikan pada nenekku.

     Sebuah dompet hitam. Dompet hitam dengan warna yang sudah memudar. Permukaan yang kasar dan beberapa resleting yang sudah aus. Memiliki empat kantung di dalamnya.  Terlihat bahwa ia sudah cukup lama memilikinya.

     Ia membukanya dengan hati-hati. Melihat isinya. Ku lihat didalamnya ada sebuah E-KTP, KTP th 2002, Kartu pemilihan dan beberapa lembar uang tunai. Aku baru menyadari dengan pasti bahwa nenekku telah berusia 77 tahunan. Walaupun dengan melihatnya saja, ia sudah tidak lagi muda. Kulit keriputnya menggambarkan semuanya.

"Kok cuma sak ene dhuek e?" ujarnya tiba-tiba . Ia sangat terpukul kurasa. Karena matanya mulai berkaca-kaca, dan sedikit kulihat air yang akan jatuh dari kelopak matanya. Dan aku hanya bisa terdiam.
"Sakdhorongi dek kene onok satosa, kok cuma karek seketan ?"
"Gak di dhele dek nggon liyo ta bah ?" tanya ku, mencoba menenangkannya.
"Nggak le biasani tak dhekek ke kene, duek atosani tak dhekek kene biasani"

     Ia menceritakan bahwa uang yang ratusan yang dimilikinya diberikan oleh salah satu tentara kenalannya ketika ia menyapu halaman.
"Sek apik dhuek e le, sektas jupok iku koyok e pas tak Trimo" ujarnya kecewa.

     Ini bukan pertama kali ia mendapat uang dari tentara, karenanya dulunya ia adalah orang yang biasa memasak dan mencuci di tempat para tentara. Ia bercerita bahwa 20 tahun ia menjalin hubungan dengan para tentara dan mereka selalu menghormatinya hingga saat ini. Namun sayangnya ini bukan pertama kalinya ia kehilangan sesuatu dari dalam kamarnya.

     Ia menceritakan semua padaku. Sudah ketiga kalinya ia kehilangan sesuatu dari dalam kamarnya. Walaupun kamarnya sudah terkunci. Begitu juga dengan lemarinya. Aku dapat merasakan kesedihannya. Ia merasa, untuk kesekian kalinya ia merasa dikhianati dan dibodohi. Di rumahnya sendiri. Di tempat peninggalan suami tercintanya. Dimana hanya ada anak, menantu dan cucu-cucunya.

     Dan disatu sisi aku sangat merasa kecewa pada diriku sendiri. Aku tidak bisa memberikan penyelesaian dalam masalah ini. Yang ku lakukan hanya mengatakan sabar dan coba beli gembok baru. Tapi masih tidak dapat memastikan apakah kejadian ini tidak akan berulang. Terlebih lagi secara tidak langsung aku menjadi saksi bahwa saat kamar itu ditinggal pemiliknya, sejak aku datang tidak ada satu orang pun yang memasuki kamar. Dan aku bisa menjamin itu. Kecuali ketika 3 jam saat aku tidur.

     Ia mencurigai menantunya. Tapi aku tidak bisa mendukungnya. Bukan berarti aku tidak mau. Hanya saja aku tidak memiliki bukti dan aku tidak benar-benar mengetahui rincian uangnya. Aku percaya sekaligus tidak percaya dg ceritanya. Itu juga yang membuatku lebih kecewa.

     Bagaimana tidak. Nenekku ini sangatlah pelupa. Aku tahu sendiri. Salah satu contoh ketika aku diminta untuk makan menemaninya. Kemudian aku makan bersamanya. Namun beberapa saat kemudian, ia datang dan bertanya "wes mangan ghorong?" Atau perintah "Kon ghorong mangan yo?ndang mangano! ". Dan itu tidak hanya sekali dua kali, mungkin hampir setiap aku datang ke rumahnya. Ia mengingatkanku pada ikan Dori salah satu tokoh dalam movie "Finding Nemo".

     Tapi terkadang ingatannya sangat kuat tentang suatu hal. Seperti terakhir iataruh dompetnya, di tempat mana dan dalam posisi seperti apa. Atau tentang saat mendapatkan uang pemberian, masa lalunya saat di tempat tentara, atau kisah masa kecilku. Ia dapat mencereritakannya secara detail. Inilah yang membuatku kagum dan percaya pada ceritanya.

     Akhirnya aku hanya bisa menenangkannya dan membelikan gembok baru untuk kamarnya. Yah aku harap tidak ada yang ke empat kalinya.

Senin, 06 Juni 2016

Ater-ater Menjelang Rhamadan

BY Black Mask IN No comments

     "Le, mbah jalok ter ngkok yo nang kulonani ngetterno iki kabheh!" ujar nenekku sambil menunjuk rantang yang berisi beberapa piring nasi.

     Salah satu keping perintah yang biasanya ditujukan untuk ku ketika berada di rumah, beberapa hari menjelang bulan suci Rhamadan. Perintah yang telah menjadi rutinitas, dan dapat diartikan menjadi budaya setiap tahunnya. Karena hanya aku satu-satunya pria yang sedang ada di rumah itu. Hanya aku pria yang dapat mengemudikan sepeda motor.

     Namun, tahun ini sedikit berbeda, aku tidak berada di depan kemudi untuk mengantarkan rantang. Aku sedang berada di tempat berbeda, mencoba memikirkan kembali mengenai ater-ater rantang. Walau tidak ada aku, tradisi itu akan tetap berjalan. Bukan berarti aku sok penting - tapi aku memang penting, hanya saja kenapa tradisi ater-ater masih tetap ada setiap tahunnya. Tradisi ater-ater (mengantarkan) beberapa piring nasi untuk tetangga atau kerabat dekat menjelang bulan suci Rhamadan. Dan kenapa di lakukan di awal bulan Rhamadan?

     Pertanyaan itu di jawab oleh sesepuh keluarga (nenek). Ia mengatakan bahwa dengan ater-ater kita memberikan sebagian rezeki yang kita terima kepada orang lain. "Semacam sukuran dalam menyambut bulan suci Rhamadan yang hanya datang 1 kali dalam satu tahun" ujar nenek - jika aku tidak salah ingat.

     Tradisi ater-ater ini mengajarkanku untuk saling berbagi, saling memberi dan dapat memper erat tali silaturahmi antar tetangga dan keluarga.  Manfaatnya inilah yang membuat tradisi ater-ater ini masih tetap lestari dan  terjaga setiap tahunnya. Semacam ucapan maaf yang biasa disebarkan menjelang bulan Rhamadan menjadi ciri khas sendiri dalam menyambut bulan suci umat Islam ini.

Ater-ater untuk yang meninggal.

     Selain ater-ater nasi, ada juga ater-ater doa atau yang disebut nyekar,  juga dilakukan menjelang bulan suci rhamadan. Nyekar dilakukan dengan cara membersihkan dan memberikan bunga di pemakaman keluarga. Serta mendoakan agar mereka yang kembali pada Nya diampuni dosa-dosanya.

     Pernah aku mendengar dari salah satu orang yang umumnya disebut Kiai. Mengatakan bahwa bulan puasa ini sebagai ajang dalam mencari remisi atau pengurangan masa hukuman jika di dunia. Namun, karena saya tidak begitu mendalami agama dan masih belum pernah dipanggil oleh Nya maka kepercayaan dikembalikan pada kalian masing masing.

    

Jumat, 15 Januari 2016

Pria-pria pengejar Cinta

BY Black Mask IN No comments


“Waktunya satu bulan, tidak boleh lebih tidak boleh kurang” ujar salah seorang dari kami ber lima.

Waktu itu musim panas saat hujan tak kunjung datang dan suasana kota tembakau masih dalam bulan-bulan penerimaan mahasiswa baru. Awal ajaran baru untuk beberapa perguruan tinggi yang berdiri di kota tembakau ini. Beberapa pendatang sudah mulai beradaptasi dengan kota. Beberapa pula masih rindu akan kasur yang ditinggalkan dirumah untuk mereka yang sering pulang. Atau untuk orang pribumi mereka  hanya menapaki jenjang baru pendidikan, walau pendatang akan merasakan hal yang sama.

Langit malam di musim panas, tidak banyak bintang yang menampakkan dirinya waktu itu. Enam pria duduk melingkar saling berhadapan dengan dua buah meja belajar kecil ditengah. Kopi hitam tersuguhkan diatas meja dengaan uap putih yang keluar diatansnya. Enam pria yang menikmati indahnya malam kota tembakau. Di ujung jalan beraspal, disamping gedung wakil rakyat yang berdiri kokoh. Enam pria.

Pria pertama memiliki perut yang lebih besar diantara yang lain, kamu bisa menyebutnya si gendut. Walaupun ia tidak begitu gendut. Satunya lagi adalah pria dengan rambut kribo yang hobi memakai gelang. Rambutnya bisa kamu samakan seperti pembalap simon celi atau seorang pesepak bola asal brazil yang kini ada di liga prancis, David luiz. Kamu bisa menyebutnya si kribo. Pria selanjutnya memiliki tinggi yang lebi kecil dibanding yang lain – walau tidak terpaut jauh, tapi ia mungkin yang paling tua dalam lingkaran itu. Kamu bisa menyebutnya si Mbah tapi ia kerap kali berwajah sangar layaknya preman nganggur.

Selanjutnya pria yang paling putih diantara yang lain, seakan putihnya tak bisa hilang walaupun berjemur di pantai seharian – pernah dicoba. Sebut saja si Bule. Selanjutnya pria yang paling tinggi dan memiliki tubuh lbesar ayaknya binaragawan, tapi jika kamu buka bajunya yuang ada hanya timbunan lemak. Tapi ia tidak bisa disebut gendut. Ia lebih cocok disebut preman pasar dengan postur seperti itu. Terakhir, aku sendiri si pria keren dan baik hati itu kataku sendiri. mungkin orang lain akan menyebutku si kurus karena aku yang paling kurus diantara mereka berlima.

Kita hanyalah sekumpulan anak muda yang mencoba menikmati suasana malam di tanah perantauan. Karena tidak satupun dari kami yang merupakan suku pribumi. Si gendut berasal dari pulau sebelah barat jawa. Si kribo dan si mbah berasal dari kota gandrung. Si bule berasal dari kota santri yang memiliki pondok pesantren semaca Tebu ireng. Si preman berasal dari salah satu kota ziarah wai yang terkenal. Aku sendiri berasal dari kota yang terkenal dengan anggur dan mangganya.

Awalnya percakap hanya seputar hal hal yang telah dilewati pada hari itu. Dosen membosankan. Menu hari ini. Jadwal perkuliahan. Beberapa bumbu komedi yang menyulut tawa. Namun lambat laun – entah siapa yang memulai, percakapan mulai sedikit serius menjadi sebuah obrolan para pria. Wanita yang disuka.

Beberapa pertanyaan pun diajukan satu persatu untuk setiap orang. Kamu sedang dekat dengan siapa? Sejak kapan menyukainya? Kenapa memilihnya? Hal hal seperti itu dengan cepat menjadi sebuah obrolan hangat. Hingga memunculkan sebuah celetukan.  “bagaimana kalau kita membuat sebuah perjanjian, kita akan menyatakan cinta kepada orang yang kita suka  secara bersamaan?” ujar salah seorang dari kami. Akhirnya disepakati bahwa waktu yang ditentukan untuk menyatakan cinta selama satu bulan. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

Untuk membuktikan keseriusan kami. Akhirnya dibuatlah sebuah perjanjian hitam diatas putih bermaterai, dengan beberapa poin perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Namun perjanjian ini bukan berarti kami tidak serius dalam mengejar orang orang yang kami cinta. Justru sebaliknya. Kami hanya ingin kelak ini menjadi sebuah kisah tersendiri  bagi kami dalam memperjuangkan yang namanya cinta. []

Kamis, 14 Januari 2016

Aku dan Dia dalam Perjalanan

BY Black Mask IN No comments



Disini aku hanya ingin mengingat kembali sebuah kisah yang ku sebut romantisme masa muda. Yang mungkin hanya aku yang merasakannya. Ini kisah tentang dia yang pernah mengisi ruang kosong di hati ku. Tentang dia yang telah memberikan kesempatan untuk ku mendekatinya dan mengungkapkan isi hatiku. Waalu kini kita hanya sebatas teman yang bisa dianggap dekat tanpa sebuah status. Namun kurasaini juga tidak buruk.

Cerita ini dimulai beberapa tahun yang lalu. Ketika aku akan menuju ke sebuah tempat pelatihan yang terletak diatas dataran tinggi. Aku diminta oleh salah seorang tetua – karena umurnya lebih diatas kami yang datang, yang berambut gimbal dan rekan seprofesi walau berbeda wilayah kerja. Aku menuju ketempat tetua untuk menjemput anggotanya, dan aku mengikutinya begitu saja. Tak pernah ku tau bahwa dia akan adalah salah satu orang yang harus ku jemput.

Seakan ini seperti skenario yang telah disiapkan oleh sang tetua atau ini hanyalah sebuah kebetulan yang diberikan tuhan. Aku hanya bisa mengucap terima kasih karena telah diberikan waktu untuk bersamanya. Beberapa kilometer kedepan kita akan berpacu bersama mengendarai sebuah motor tua tahun sembilan puluan yang masih menemaniku hingga sekarang.

Ditmani lampu lampu jalanan kota yang terang benderang kulaju sepeda dengan kecepatan sedang. Berharap agar ia tidak begitu merasakan angin malam yang telah menusuk nusuk kulitku kala itu. Dibawah pengawasan sang bulan kami sedikit bercakap-cakap seputar kepingan-kepingan cerita yang pernah kami alami. Semacam apa yang pernah kamu lakukan dengan profesimu, atau hanya sebatas berapa lama kamu akan tinggal di tempat itu.

Percakapan aku dan dia tidak berlangsung lama. Waktu yang terus berjalan dan jarak yang semakin dekat dengan tempat yang kami tuju membuatku sedikit berharap. Andai bisa sedikit lebih lama lagi. Namun apa daya, motor tua sudah menjalankan tugasnya untuk mengantar aku dan dia. Sorakan yang kami terima membuatku canggung dan sedikit malu padanya. Tapi tak apa, aku sudah memiliki cerita tentang malam bersama dia yang menghabiskan waktu dalam sebuah perjalanan. Ah andai saja waktu berhenti kalaitu. Ah andai saja aku sedikit bercakap lebih banyak. Ah aku ternyata hanya bisa berandai. Nanti aku tak akan berandai lagi.[]

I Call This Home

BY Black Mask IN No comments


Rumah adalah tempat dimana kamu dapat kembali . Tempat yang akan menunggu kedatanganmu kembali kelak ketika kamu pergi. Sama seperti disini. Tempat ini. Sebuah ruang yang berukuran empat kali tiga meter dengan tiga daun jendela dan satu pintu. Cukup sederhana jika tempat ini bisa disebut rumah.

Ya, tempat ini bisa disebut rumah juga. Kenapa? Karena di tempat ini aku memiliki banyak crita. Banyak kisah suka dan duka. Perjuangan dan rintangannya tak pernal usai. Disini aku temukan orang-orang yang dapat aku sebut dengan keluarga. Walau kita tidak memiliki hubungan darah, tapi itu tidak penting karena kita memiliki tujuan yang sama di tempat ini.
Aku tidak akan menyebutkan tempat apa ini. Karena aku hanya ingin mengatakannya pada orang orang yang pernah memiliki hal yang sama dengan ku. Memiliki cerita tentang “Tempat” yang takkan pernah terlupakan, memiliki keluarga baru, dan kelak kamu akan kembali lagi ke tempat ini yang dapat kamu sebut rumah.

Rumah yang dimaksud tidak harus memiliiki perabot seperti kursi tempat tidur dan attribut lain. Cukup memiliki hal-hal yang dapat membuat orang nyaman ketika masuk ke dalamnya. Bahkan, tempat ini yang telah kusebut rumah. Hanya memiliki sebuah bantal, perlengkapan untuk ibadah, sebuah lemari, beberapa buku yang tertata di rak, dan sebuah bndra merah putih lengkap dengan tiangnya.

Tidak banyak memamg perabot didalamnya, namun disini dapat membuat orang orang didalamnya memiliki cerita-ceritanya sndiri dan bahkan dapat mengikatnya untuk kembali datang ketempat ini bahkan hingga engkau sudah memiliki sebuah gelar yang dapat kamu bawa ke masyarakat kembali. Tempat ini masih menunggumu untuk datang kembali.[]