“Waktunya satu bulan,
tidak boleh lebih tidak boleh kurang” ujar salah seorang dari kami ber lima.
Waktu itu
musim panas saat hujan tak kunjung datang dan suasana kota tembakau masih dalam
bulan-bulan penerimaan mahasiswa baru. Awal ajaran baru untuk beberapa
perguruan tinggi yang berdiri di kota tembakau ini. Beberapa pendatang sudah
mulai beradaptasi dengan kota. Beberapa pula masih rindu akan kasur yang
ditinggalkan dirumah untuk mereka yang sering pulang. Atau untuk orang pribumi
mereka hanya menapaki jenjang baru
pendidikan, walau pendatang akan merasakan hal yang sama.
Langit malam
di musim panas, tidak banyak bintang yang menampakkan dirinya waktu itu. Enam
pria duduk melingkar saling berhadapan dengan dua buah meja belajar kecil
ditengah. Kopi hitam tersuguhkan diatas meja dengaan uap putih yang keluar
diatansnya. Enam pria yang menikmati indahnya malam kota tembakau. Di ujung
jalan beraspal, disamping gedung wakil rakyat yang berdiri kokoh. Enam pria.
Pria pertama
memiliki perut yang lebih besar diantara yang lain, kamu bisa menyebutnya si
gendut. Walaupun ia tidak begitu gendut. Satunya lagi adalah pria dengan rambut
kribo yang hobi memakai gelang. Rambutnya bisa kamu samakan seperti pembalap
simon celi atau seorang pesepak bola asal brazil yang kini ada di liga prancis,
David luiz. Kamu bisa menyebutnya si kribo. Pria selanjutnya memiliki tinggi
yang lebi kecil dibanding yang lain – walau tidak terpaut jauh, tapi ia mungkin
yang paling tua dalam lingkaran itu. Kamu bisa menyebutnya si Mbah tapi ia
kerap kali berwajah sangar layaknya preman nganggur.
Selanjutnya
pria yang paling putih diantara yang lain, seakan putihnya tak bisa hilang
walaupun berjemur di pantai seharian – pernah dicoba. Sebut saja si Bule.
Selanjutnya pria yang paling tinggi dan memiliki tubuh lbesar ayaknya
binaragawan, tapi jika kamu buka bajunya yuang ada hanya timbunan lemak. Tapi
ia tidak bisa disebut gendut. Ia lebih cocok disebut preman pasar dengan postur
seperti itu. Terakhir, aku sendiri si pria keren dan baik hati itu kataku
sendiri. mungkin orang lain akan menyebutku si kurus karena aku yang paling
kurus diantara mereka berlima.
Kita hanyalah
sekumpulan anak muda yang mencoba menikmati suasana malam di tanah perantauan.
Karena tidak satupun dari kami yang merupakan suku pribumi. Si gendut berasal
dari pulau sebelah barat jawa. Si kribo dan si mbah berasal dari kota gandrung.
Si bule berasal dari kota santri yang memiliki pondok pesantren semaca Tebu
ireng. Si preman berasal dari salah satu kota ziarah wai yang terkenal. Aku
sendiri berasal dari kota yang terkenal dengan anggur dan mangganya.
Awalnya percakap
hanya seputar hal hal yang telah dilewati pada hari itu. Dosen membosankan.
Menu hari ini. Jadwal perkuliahan. Beberapa bumbu komedi yang menyulut tawa.
Namun lambat laun – entah siapa yang memulai, percakapan mulai sedikit serius
menjadi sebuah obrolan para pria. Wanita yang disuka.
Beberapa
pertanyaan pun diajukan satu persatu untuk setiap orang. Kamu sedang dekat
dengan siapa? Sejak kapan menyukainya? Kenapa memilihnya? Hal hal seperti itu
dengan cepat menjadi sebuah obrolan hangat. Hingga memunculkan sebuah celetukan. “bagaimana kalau kita membuat sebuah
perjanjian, kita akan menyatakan cinta kepada orang yang kita suka secara bersamaan?” ujar salah seorang dari
kami. Akhirnya disepakati bahwa waktu yang ditentukan untuk menyatakan cinta
selama satu bulan. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Untuk
membuktikan keseriusan kami. Akhirnya dibuatlah sebuah perjanjian hitam diatas
putih bermaterai, dengan beberapa poin perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya. Namun perjanjian ini bukan berarti kami tidak serius dalam mengejar
orang orang yang kami cinta. Justru sebaliknya. Kami hanya ingin kelak ini
menjadi sebuah kisah tersendiri bagi
kami dalam memperjuangkan yang namanya cinta. []